Sunday, 29 July 2018
KonPers SBY Terkait Tim Pengacara Ahok Menanyai KH Maruf Amin Ada Apa
KonPers SBY Terkait Tim Pengacara Ahok Menanyai KH Maruf Amin Ada Apa
Politik Yudhoyono: Selama dua puluh empat jam ini saya berusaha mengunyah konperensi pers (konpers) yang kemarin dilakukan oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyoono. Seperti barangkali Sodara, saya pun dihinggapi teka--teki: Apakah sesungguhnya tujuan Yudhoyono
mengadakan konpers ini?Yudhoyono melakukan konpers ini kurang dari 24 jam setelah tim pengacara Ahok menanyai KH Maruf Amin di pengadilan. Unsur ketergesaan ini seperti memperlihatkan kepanikan di pihak Yudhoyono. Dari nadanya, dia kelihatan ingin melakukan klarifikasi. Sialnya, klarifikasi yang dia lakukan tidak sinkron dengan keterangan Maruf Amin di pengadilan.
Seperti misalnya, Maruf Amin mengatakan bahwa tidak ada pembicaraan telpon antara dirinya dengan Yudhoyono. Namun dalam konpers itu Yudhoyono justru mengakui ada percakapan telpon itu, sekalipun sambungan telepon itu dilakukan oleh staffnya.
Keterangan--keterangan Yudhoyono tampak sangat defensif. Dia berkeluh kesah bahwa telponnya disadap. Sementara dalam persidangan tidak ada soal penyadapan. Tim penasehat hukum Ahok hanya mengatakan mereka memiliki bukti bahwa pembicaraan itu terjadi. Yudhoyono mengembangkan sendiri dengan menyimpulkan bahwa telponnya disadap. Jadilah dia menceracau hingga ke Watergate.
Tidak berhenti sampai disitu. Dia melebar lebih jauh lagi. Karena merasa disadap, dan penyadapan itu melanggar hukum, maka dia menilai bahwa bola sekarang ada pada polisi dan presiden Jokowi. Dia mengatakan kalau diundang dia siap melakukan klarifikasi segala macam isu yang melanda dirinya dan keluarganya kepada Jokowi.
Tidak terlalu sulit menangkap bahwa klarifikasi semacam ini lahir dari sebuah perasaan tidak percaya diri (insecure). Saya merasa seperti dituduh, maka saya berusaha menjelaskan dengan membuat alibi sana sini.
Persis seperti kelakukan anak kecil yang menjelaskan mengapa sebatang coklat di atas meja makan hilang. Sodara barangkali akrab dengan hal-hal semacam ini. Yang pertama-tama biasanya dilakukan anak-anak adalah menyanggah, "Bukan saya."
Dan kemudian mulaillah penjelasan panjang lebar seperti: tadi ada kucing lewat, coklatnya masih disana sebelum kucingnya lewat, dan saya tidak menyentuh coklat itu. Kadang penjelasan macam-macam ini diakhiri dengan, "Sumpah, saya tidak mengambilnya." Dari situ Sodara tahu ada dimana coklat itu sekarang :P
Konpers Yudhoyono ini tentu tidak bisa dipisahkan dari satu hal, yakni pemilihan gubernur DKI Jakarta. Semakin hari, kampanye pemilihan ini tampak semakin kotor dan liar saja. Serangan-serangan, pelibatan massa, hingga ke kekerasan fisik maupun verbal semakin meningkat menjelang pemilihan 15 Pebruari nanti.
Kita tahu, Yudhoyono menyodorkan anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHaY) untuk bertarung. Disini juga saya masih punya teka-teki yang belum terjawab. Mengapa AHaY?
Beberapa hari lalu, saya menyempatkan diri menonton dua debat kandidat yang sudah dilakukan. Tidak terlalu sulit bagi saya untuk menyimpulkan bahwa AHaY sesungguhnya sangat tidak siap untuk menjadi kandidat. Sekalipun diia didampingi oleh beberapa intelektual dengan derajat PhD, AHaY tampak seperti mahasiswa yang harus presentasi di depan dosen. Penampilan pada debat kedua tampak sedikit lebih baik dari yang pertama. Namun tetap tampak seperti mahasiswa.
Selain itu, dia tampak miskin data, miskin rencana, dan tidak tahu apa yang akan dilakukan. Dia berkali-kali melontarkan kata-kata, yang saya kira dia sendiri tidak mengerti maknanya. Taruhlah kata empowerment yang kerap dimunculkannya. Belum lagi kecenderungannya memamerkan bahasa Inggrisnya, seolah dia bertarung untuk menjadi Walikota Philadelphia.
Tampaknya ini sebagian karena kesalahan tim pendampingnya. Mereka tidak menyodorkan data, mereka tidak melakukan opposition research, mereka juga tidak memberikan umpan-umpan zingers (ucapan-ucapan sinis yang membekas dan efektif di benak pemilih).
Namun tim pendamping tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Jelas AHaY adalah politisi setengah matang. Bahkan mungkin masih mentah. Dia belum punya marwah untuk menjadi politisi. Dan, mempelajari persoalan Jakarta tidak cukup dilakukan hanya dalam beberapa minggu -- seperti yang dilakukan AHaY. Sebaik apapun pelatihan (coaching) diberikan, sungguh mustahil menguasai persoalan Jakarta dengan baik dalam waktu singkat.
Juga, menjadi politisi menuntut kualitas yang lain. Sodara boleh menjadi nomor satu di Harvard university. Bisa membaca ratusan buku-buku tentang kepemimpinan dan public policy. Namun itu tidak berarti akan membuat Sodara menjadi politisi yang mumpuni. Politik membutuhkan latihan, pengalaman, insting, kecerdasan, dan keberanian.
Sungguh berbeda dengan Anies Baswedan yang memulai karirnya dari sejak mahasiswa. Dia punya pengalaman bertarung dalam pemilihan, sekalipun di tingkat mahasiswa. Dia pernah menjalankan organisasi sebagai eksekutif, Bukan sebagai komandan militer yang memimpin berdasarkan komando. Sehingga, ketika debat, kita kualitasnya sebagai politisi muncul.
Kembal ke Yudhoyono. Melihat konpers kemarin, mau tidak mau saya berpikir: Siapa sih sesungguhnya yang bertarung dalam pemiliihan gubernur DKI ini? Yudhoyono sendiri atau anaknya? Mengapa tampaknya AHaY hanyalah proxy dari Yudhoyono? Kesan demikian tidak dapat dielakkan mengingat dalamnya campur tangan Yudhoyono dalam Pilgub ini.
Pertanyaan besar terakhir dari saya adalah: Apa sih sesungguhnya tujuan politik Yudhoyono? Ini yang terpenting. Sodara tahu bahwa setelah dia tidak menjadi presiden, dia menjadi ketua partai Demokrat. Anaknya menjadi Sekjen partai itu. Keluarganya memegang kendali atas partai tersebut.
Apakah sepuluh tahun berkuasa sebagai presiden itu tidak cukup? Mengapa mesti menyodorkan anak-anak sendiri dan mencarikan kekuasaan untuk mereka? Kalau pun ada niat untuk mengabdi pada bangsa dan negara ini, mengapa tidak melakukan seperti presiden-presiden Amerika (saya tahu Yudhoyono sangat mengagumi Amerika!) dengan membuat lembaga filantropi dan perpustakaan? Mengapa tidak membiarkan saja AHaY membangun karir militernya?
Saya kira, pertanyaan-pertanyaan ini absah (legitimate) mengingat kotornya politik pemilhan gubernur Jakarta yang sedang berlangsung saat ini. Kehadiran Yudhoyono dalam Pilgub ini tidak membuatnya menjadi lebih beradab dan lebih santun, seperti yang selalu dia ucapkan.
Politicking yang berkembang, dimana Yudhoyono menjadi didalamnya, sudah sedemikian kotor dan tercela. Keadaban kita merosot pada titik yang terendah. Baru tadi pagi saya melihat seorang seorang ibu wartawati yang menjalankan tugasnya dimaki dan ditoyor kepalanya hanya karena dia beragama Kristen dan melakukan tugas jurnalistiknya. Begitu terpecahnya kita sebagai bangsa, dan ada pihak yang merasa lebih berkuasa daripada yang lain.
Sekali lagi pertanyaan saya, tidakkah cukup sepuluh tahun berkuasa menjadi presiden?
Kartun: Penyadapan telpon Ani Yudhoyono oleh Australia. Diimuat di harian Herald Sun. Kartunis: Mark Knight. Sumber